Amal Yang Diterima Allah
Oleh: Samin Barkah, Lc
________________________________
dakwatuna.com – Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a., ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala
amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena
Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor
duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi,
maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia
niatkan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Bunyi hadits di atas adalah:
عَنْ أَمِيرِ اْلمُؤمِنِينَ أبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله ورسوله
فهجرته إلي الله ورسوله َمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ (رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمُ)
Tentang Hadits
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu alur sanad, yaitu alur sanad
Yahya bin Said Al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari
‘Alqamah bin Abi Waqash Al-Laitsi, dari Umar bin Khathab.
Setelah Yahya bin Said Al-Anshari inilah kemudian banyak ulama dan
ahli hadits yang meriwayatkan. Diriwayatkan lebih dari 200 orang rawi.
Ada yang mengatakan bahwa yang meriwayatkan dari Yahya ini sekitar 500
orang. Di antara ulama yang meriwayatkan dari Yahya adalah Imam Malik,
Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ibnu Mubarak, Al-Laits bin Saad, Hamad bin
Zaid, Syu’bah, Ibnu ‘Uyainah dan ulama lainnya.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih.
Menurut Imam Ahmad bahwa hadits ini adalah satu dari tiga hadits
dasar-dasar Islam. Imam Syafii mengatakan bahwa hadits ini adalah
sepertiga ilmu. Hadits ini masuk pada 70 bab fiqih. Abdurrahman bin
Mahdi berkata, “Jika aku akan menulis satu bab, maka aku meletakkan
hadits ini pada tiap bab. Barang siapa yang mau menyusun buku, maka
mulailah dengan hadits ini.
Para ulama lain juga selalu menyebutkan hadits ini pada mukadimah
kitabnya, seperti Imam Bukhari pada kitab Hadits Shahihnya. Karena itu
pulalah penulis memulai rubrik ini dengan hadits niat.
Penjelasan Hadits
Hadits ini menegaskan bahwa diterimanya amal perbuatan manusia
tergantung keikhlasan kepada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan dalam
surat Al-Bayyinah ayat 5 dan Az-Zumar ayat 2-3.
Ada dua penyakit hati yang bisa merusak amal manusia. Pertama adalah
penyakit ujub dan yang kedua adalah penyakit riya. Dua penyakit ini
akan mengakibatkan amal perbuatan manusia tidak bernilai.
Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin Al-Mukhaimarah bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Allah tidak akan menerima amal perbuatan yang di dalamnya
masih terdapat riya walau sebesar biji sawi.”
Para ulama fiqih menegaskan bahwa niat adalah pembeda antara ibadah
dan adat, membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya;
misalnya mandi, bisa mandi untuk kesegaran, untuk kebersihan atau
mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar atau mandi sunat shalat
Jum’at.
Jadi, niat dalam Islam merupakan asas ibadah dan tempat niat itu ada
di hati. Apabila seseorang niat shalat atau puasa di dalam hati, tanpa
dilafalkan oleh lisan, maka sudah cukup.
Ada ibadah-ibadah yang tidak dapat diwakili, karena لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى (seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan) dan apa
pula beberapa ibadah yang boleh diwakilkan, seperti zakat atau
sembelih kurban atau menghajikan orang yang sudah meninggal.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat, لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُم
أَحْسَنُ عَمَلاً bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik)
adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling
benar). Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan
benar. Amal perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas
karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat
Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga
sebaliknya, jika perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat,
tetapi yang melaksanakannya tidak semata-mata karena Allah, maka
amalnya tidak diterima.
Seseorang yang niat ikhlas ketika membangun masjid, tetapi dana untuk
membangun masjid tersebut didapat dengan cara yang haram dan itu
bertentangan dengan tuntunan agama, maka amalnya ditolak Allah.
Seseorang yang niatnya ikhlas untuk shalat Subuh, tetapi
pelaksanaannya sengaja dilebihkan rakaat karena semangat sampai 3 atau
4 rakaat, maka ibadahnya tidak diterima Allah. Semua ibadah atau
perbuatan yang niatnya baik, tetapi dilakukan tidak berdasarkan
syariat, maka tidak akan diterima oleh Allah. Begitu juga sebaliknya.
Itulah yang dimaksud dengan amal shalih seperti dalam surat Al-Kahfi
ayat 110 disebutkan, “Barang siapa berharap berjumpa dengan Tuhannya,
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
Umat Islam perlu memahami makna hijrah yang lebih luas, yaitu
meninggalkan negeri yang tidak dijalankan syariat ke negeri yang
dijunjung syariat Islam. Selain ditentukan Allah dan Rasul-Nya,
keutamaan tempat juga ditentukan oleh penghuninya. Dan keutamaan
muslim ditentukan oleh ketaatan dan ketaqwaannya.
Abu Darda pernah mengirim surat kepada Salman Al-Farisi, “Berangkatlah
ke sini, ke bumi muqaddas, bumi yang suci.” Salman pun membalas surat
itu dan mengatakan, “Sesungguhnya bumi tidak akan membuat orang
menjadi mulia, tetapi seorang hamba akan mulia dengan amalnya.
Salman telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abu Darda.
Salman lebih menguasai hukum fiqih daripada Abu Darda.
Untuk menguatkan pengertian ini, Allah menegaskannya ketika Dia
berfirman kepada Musa a.s, “Aku akan perlihatkan kepadamu bumi
orang-orang fasik” (Al-A’raf: 145), yaitu negeri para begundal
bertubuh besar. Kemudian dengan perubahan penghuninya, negeri itu
menjadi negeri orang-orang beriman.
Sosial Kemasyarakatan
Penggunaan kata امْرِئٍ (seseorang) pada وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى merupakan suatu ungkapan yang tepat, karena ungkapan ini
mencakup wanita dan pria. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan
antara pria dan wanita dalam menjalankan syariah, seperti juga disebut
dalam surat An-Nisa ayat 124, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka
mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikit pun.”
Islam mengarahkan peran sosial kepada tugas pria dan wanita secara
proporsional seperti disebut dalam surat At-Taubah ayat 71, “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tidak ada perbedaan pahala bagi pria atau wanita ketika beramal atau
melakukan perbuatan baik. Semuanya sama di sisi Allah, siapa yang
beramal ikhlas dan sesuai syariat, pria atau wanita, pasti akan
mendapatkan kebaikan.
Ketika Barat memberikan kebebasan multak dengan emansipasinya kepada
wanita atau Timur yang membelenggu hak-hak wanita Islam, Islam justru
meletakkan wanita pada tempat yang layak sesuai dengan kodrat
kewanitaannya. Islam tidak membelenggu kebebasan dan kemerdekaan
wanita dan juga tidak melepaskannya sama seperti pria, tanpa
memperhatikan kodrat kewanitaan yang berbeda dengan pria, seperti
haidh, melahirkan, menyusui dan lain-lain.
Dari ungkapan Rasulullah saw “فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله
ورسوله فهجرته إلي الله ورسولهmenunjukkan bahwa perintah hijrah pada
masa Rasulullah saw. adalah perintah yang sangat penting dan
melaksanakan perintah tersebut merupakan bagian dari strategi politik
dakwah. Allah memerintahkan Rasulullah dan sahabat untuk membina
masyarakat Islam di kota Yatsrib.
Hijrah secara bahasa berarti “tarku” (meninggalkan). “Hijrah ila syai”
berarti “intiqal ilaihi ‘an ghairi” (berpindah kepada sesuatu dari
sesuatu).
Menurut istilah, hijrah berarti “tarku maa nahallahu ‘anhu”
(meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah)
Hijrah menurut sejarah penetapan hukum (tarikh tasyri) adalah
berpindahnya kaum muslimin dari kota Mekah ke kota Madinah, dan juga
dari kota Mekah ke kota Habasyah.
Pengertian hijrah secara khusus dibatasi hingga penaklukan kota Mekah.
Setelah itu hijrah dengan makna khusus sudah berakhir, maka tinggallah
perintah hijrah dengan makna umum, yaitu berpindah dari negeri kafir
ke negeri iman. Makna kedua ini berlaku setelah penaklukan kota Mekah.
Hijrah dalam sejarah perjuangan Rasul merupakan strategi dakwah Islam.
Para sahabat berlomba-lomba melakukan hijrah, baik dari kota Mekah
maupun dari negeri dan kawasan sekitar Mekah, karena mereka memahami
bahwa hijrah adalah bagian dari syariat dan strategi dakwah Rasul.
Melaksanakan perintah hijrah merupakan bagian dari strategi politik
dakwah dan hukumnya wajib bagi para sahabat yang berada di luar kota
Madinah. Allah memerintahkan Rasulullah saw dan sahabat untuk membina
masyarakat Islam di kota Yatsrib. Hijrah dalam sejarah perjuangan
Rasul merupakan strategi dakwah Islam. Para sahabat berlomba-lomba
melakukan hijrah, baik dari kota Mekah maupun dari negeri dan kawasan
sekitar Mekah, karena mereka memahami bahwa hijrah adalah bagian dari
syariat dan strategi dakwah Rasul.
Rasulullah saw. menjanjikan pahala yang besar bagi yang berhijrah dan
menjadi catatan atau aib jika seorang muslim tidak berhijrah. Semangat
hijrah adalah semangat mentaati pemimpin dan semangat melaksanakan
kebijakan dakwah. Kesempatan untuk mendapatkan keutamaan hijrah pun
dibatasi dengan takluknya kota Mekah. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak
ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah. Yang masih ada adalah
jihad dan niat.” Kenapa, karena memang strategi hijrah pada masa Rasul
saat itu adalah mengumpulkan kekuatan dari kota Mekah ke kota Madinah.
Disebutkan dalam riwayat dengan sanad yang lemah dari Ibnu Mas’ud, ia
berkata, “Suatu perkataan tidak akan bermanfaat kecuali dengan
perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan tidak bermanfaat kecuali
dengan niat. Tidak akan bermanfaat suatu perkataan, perbuatan dan niat
kecuali jika sesuai dengan syariat Islam.”
Kerja dakwah yang sangat besar ini harus dipikul oleh banyak orang.
Agar lebih rapih dan hasilnya maksimal, maka diperlukan pembagian
kerja yang proporsional. Sehingga setiap job dan lapangan dakwah diisi
oleh orang yang paham dan ahli. Jenis job dan pekerjaan itu sendiri
tidaklah sama antara satu dengan yang lain. Ada yang menjadi pemimpin,
ada yang dipimpin. Ada panglima, ada tentara. Ada ketua, ada anggota.
Ada yang menjadi panitia, ada yang menjadi penceramah. Ada yang
tampil, ada yang tidak tampil. Ada yang memimpin rapat, ada yang
menyiapkan teh dan seterusnya. Semua di sisi Islam adalah sama, yaitu
ibadah dan taat kepada Allah. Semua itu bergantung pada niat
pelakunya. Jika semua bekerja dengan niat yang ikhlas, maka bangunan
Islam akan tampak megah dan menarik. Tetapi jika masing-masing ingin
tampil dan ingin dikenal, maka akan terlihat Islam penuh dengan umat
yang saling baku hantam satu dengan yang lain.
Sangat bijak apa yang dikatakan oleh Ibnu Mubarak, “Berapa banyak
pekerjaan yang kecil dan ringan, tetapi menjadi besar pahalanya karena
niat. Dan berapa banyak pekerjaan yang besar, tetapi menjadi tidak
bernilai karena niatnya tidak ikhlas.”
Penutup
Pemahaman yang luas dan dalam terhadap ajaran Islam dapat menjaga dan
meningkatkan ma’nawiyah. Keikhlasan tidak boleh bergantung kepada
orang lain, tetapi berdasarkan pemahaman bahwa Allahlah yang melihat,
memberi balasan dan menghukum, bukan orang lain.
Jika kita menyaksikan saudara muslim kita yang lebih senior melakukan
kekhilafan atau melanggar komitmen, maka hal itu tidak akan
mengendorkan semangat dan keikhlasan dalam bekerja. Atau jika aktivis
sudah banyak berbuat untuk dakwah, maka keikhlasannya tidak akan
terganggu dan rusak hanya karena diberikan jabatan atau tidak.
Jika aktivis dakwah melihat para yuniornya tidak menghormati dan tidak
menghargainya, maka dengan niat yang ikhlas dia tidak akan
tersinggung, karena dia yakin bahwa apa yang pernah ia lakukan akan
dicatat dan diberikan ganjaran oleh Allah, diketahui manusia atau
tidak. Disebut-sebut oleh manusia atau tidak.
Keikhlasan janganlah dijadikan alasan untuk tidak profesional dan
tidak mau tampil. Profesionalisme merupakan karakter hamba yang
dicintai Allah dan merupakan tuntutan amal da’wi dan amal tarbawi.
Dengan kepribadian dan dengan profesionalisme seseorang dituntut untuk
tampil ke depan agar masyarakat melihat citra Islam yang baik.
Gerakan dakwah harus memiliki tokoh dan sekarang saatnya bagi aktivis
dakwah untuk ditokohkan di masyarakat melalui berbagai sarana.
Masyarakat kita memerlukan tokoh bersih dan idealis. Semua upaya
memunculkan tokoh janganlah dibenturkan dengan keikhlasan. Pemunculan
tokoh dalam tiap bidang adalah bagian dari kerja dakwah jangka
menengah dan jangka panjang. Proses ke sana itu harus dilakukan dengan
profesional.
Penutup kalam bahwa ikhlas adalah salah satu rahasia Allah yang tidak
dapat diketahui oleh manusia, kecuali Allah saja dan orang yang
bersangkutan. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menilai seseorang,
ikhlas atau tidak ikhlas. Wallahu a’lam.