Belum lama saya mengenalnya, tepatnya sekitar dua bulan lalu sewaktu saya dan seorang teman diundang berkunjung ke rumahnya. Di perjalanan menuju rumahnya, saya dan seorang teman masih bertanya-tanya, “Dia muslim bukan ya?” sebab kami berdua memang belum pernah mengenalnya, tak pernah tahu sosoknya, hanya tahu namanya saja, itupun belum mencerminkan nama seorang muslim. Ya, nama orang Indonesia pada umumnya. Jika ada nama Ahmad atau Muhammad misalnya, mungkin kami sudah bisa langsung menebak bahwa ia seorang muslim.
Maka sesampainya di rumah, pertanyaan “muslim kah dia?” masih belum terjawab. Itu yang membuat kami bingung apakah akan mengucap salam atau ucapan selamat pagi. Namun kami hanya ingin berprasangka baik kepadanya dengan tetap mengucapkan salam di depan rumahnya. Usai dua kali mengucap salam, terdengar jawaban mantap dari dalam rumah, “alaikum salam… silahkan masuk. Saya sudah menunggu kedatangan kalian”. Sempat kami berucap “alhamdulillah” karena prasangka baik kami tak meleset bahwa ia seorang muslim. Setidaknya dari cara ia menjawab salam kami tadi, lafaznya cukup meyakinkan.
Kemudian kami dipersilahkan masuk, beberapa saat setelah berbincang, muncullah isteri beliau menyediakan minuman hangat dan beberapa jenis makanan menggugah selera. Meskipun tidak berjilbab, namun cara berpakaian wanita ini amatlah sopan, menutupi hingga ke mata kaki dan tidak ketat. “Silahkan dicicipi,” tutur katanya lembut sambil pamit kembali ke belakang. Dari penampilan isterinya yang sopan, bertambah keyakinan kami bahwa ia benar seorang muslim.
Lelaki yang sedang berbicara di depan kami ini, penampilannya sangat rapi, ia orang yang sangat menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Ia berkumis dan sedikit berjanggut, namun semua dicukur cukup rapi, begitu pula dengan potongan rambutnya. Wajahnya bersih terawat, seperti orang yang selalu dibasuh, dugaan saya mungkin karena ia rajin sholat sehingga selalu kena air wudhu. Giginya putih bersih, meskipun profesinya bukan dokter gigi atau ahli kesehatan gigi. Pakaiannya bersih dan wangi, semerbak harumnya terasa ketika kami berpelukan saat berjumpa. Yang pasti, ia tak punya masalah dengan bau badan.
Intinya, ia dan keluarganya sangat menjaga kebersihan diri dan tempat tinggalnya. Tidak ada sampah berserakan di rumah dan pekarangannya. Jangan harap menemukan sampah seperti bungkus bekas makanan atau lainnya, sebutir nasi atau sepotong lidi korek api pun tidak terlihat. Kaca-kaca dan perabot di rumah itu terlihat licin tanpa debu, sama persis dengan mobil yang terparkir di depan rumahnya, bersih dan mengkilap. Mungkin kebersihan sudah menjadi karakter utama keluarga ini. Luar biasa.
Semakin banyak hal menarik yang kami temukan meski tak kurang dari dua jam di rumah tersebut. Misalnya, ketika anaknya hendak masuk ke rumah tiba-tiba kakinya terhenti begitu tahu Ayahnya tengah menerima tamu. Anak yang saya taksir masih berusia delapan tahun itu sambil berkata “maaf”, mundur teratur dan mengambil jalan ke arah pintu samping untuk masuk ke dalam. Rupanya orang tuanya sudah menanamkan akhlak yang baik kepada anaknya, terbukti di usia sekecil itu sudah terbiasa menghormati tamu.
Yang paling mengagumkan dari semua itu adalah caranya berbicara. Cerdas, lugas, tidak bertele-tele, sedikit tertawa dan mengatur volume suara sesuai kondisi. Karena ia hanya berbicara dengan kami berdua, maka suaranya disesuaikan cukup terdengar di antara kami bertiga. Tidak keras berlebihan, juga tidak terlalu rendah. Pemilihan kata yang dipakainya pun menarik, contohnya ia tak menggunakan kata “Aku” untuk menyebut dirinya, melainkan “Saya”. Untuk beberapa kalangan, kata “Aku” terdengar lebih arogan ketimbang “Saya”. Jadi jangan harap saya mendengar ia menyebut dirinya sama seperti kebiasaan saya bilang “Gue” atau “Elu” untuk menyebut kata ganti orang kedua.
Sebenarnya ia tergolong orang sukses, jika ukurannya adalah materi yang sudah dimilikinya berupa rumah mewah dan kendaraan. Namun kesuksesan tak lantas membuat ia jumawa, sebaliknya ia sangat rendah hati, santun dan menghormati perbedaan di sekitarnya. Saya melihat caranya meminta tolong kepada sopir pribadinya, “Pak Ram, kalau sedang tidak sibuk boleh saya minta tolong bersihkan mobil ya.” Coba bayangkan, mungkin orang lain tak sesopan itu menyuruh pembantu atau sopirnya. Catatan saya, ia masih menggunakan “minta tolong” kepada sopirnya. Dan sebelum Pak Ram pergi ke depan mencuci mobil, terdengar lagi kalimat penutup, “terima kasih ya pak…” Aih, indah akhlak lelaki ini.
Nyaris sebelum saya berani menyimpulkan bahwa ia benar seorang muslim, jawaban itu pun terungkap. Ia ragu dan agak sungkan ketika harus menjawab ajakan saya untuk bersiap-siap menghadapi bulan ramadhan yang sebentar lagi akan tiba. “Maaf pak… Sa…sayaa… maaf, saya tidak berpuasa. Maksud saya, saya bukan seorang muslim,” ungkapnya.
Bagi saya, muslim ataupun bukan, ia telah menunjukkan keindahan akhlak seorang manusia. Tak hanya akhlak, melainkan juga tentang kebersihan, kewibawaan, sopan santun, juga kesederhanaan. “dengan semua kepribadiannya yang mengagumkan itu, sepantasnya ia seorang muslim,” ujar saya kepada rekan di samping.
Namun teman saya memerbaiki pernyataan saya, kata dia yang benar itu, “Semestinya seorang muslim memiliki kepribadian seperti dia…” betul sekali teman saya ini.